jump to navigation

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA July 31, 2008

Posted by mmsconsulting in Criminal Law.
trackback

Oleh :

SETIYONO, SH, MH

Partner MMS Consulting

Dosen Biasa Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Ketua Divisi Non Litigasi LKBH FH USAKTI

 

ABSTRAK

 

Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materil maka KUHAP telah memiliki rumusan sistem pembuktian tersendiri. Dalam perkembangannya, seringkali muncul penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana. KUHAP dan penjelasannya tidak mengatur secara tegas mengenai definisi otentik tentang saksi mahkota. Namun demikian, ketentuan Pasal 168 huruf (c) KUHAP merupakan dasar pengaturan terhadap eksistensi saksi mahkota. Pada awalnya, penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti  dalam perkara pidana dibolehkan karena didasarkan pada alasan adanya kekhawatiran kurangnya alat bukti yang diajukan, khususnya terhadap perkara pidana yang berbentuk penyertaan dan juga alasan untuk memenuhi rasa keadilan publik. Dalam perkembangannya, maka penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana tidak dibolehkan dengan pertimbangan karena bertentangan dengan hak asasi terdakwa sebagaimana diatur dalam ketentuan KUHAP sebagai instrumen hukum nasional dan International Covenant on Civil and Political Rights sebagai instrumen hak asasi manusia internasional termasuk sebagai instrumen penilaian terhadap implementasi prinsip-prinsip fair trial.     

 

Kata Kunci : Saksi Mahkota, Alat Bukti, Perkara Pidana.

Dipublikasikan pula dalam Jurnal Hukum Terakreditasi Lex Jurnalica Volume 05, Nomor 01, Desember 2007.

 

 

 

A.           PENDAHULUAN.

Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materil maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memiliki rumusan sistem pembuktian tersendiri. Adapun rumusan sistem pembuktian tersebut tentunya untuk mendukung tujuan dari hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan memperoleh kebenaran materiil.[1] Dengan tercapainya kebenaran materiil maka akan tercapai pula tujuan akhir hukum acara pidana, yaitu untuk mencapai suatu ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat.[2]  

Selain itu, untuk mendukung implementasi rumusan sistem pembuktian tersebut tentunya harus berpedoman pada asas-asas yang berlaku dalam proses peradilan pidana, seperti asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law) dan asas pemeriksaan akusator.[3] Lebih lanjut dijelaskan bahwa salah satu bentuk dari adanya asas praduga tidak bersalah maka terdakwa sebagai subjek dalam setiap tingkatan pemeriksaan tidak dibebani dengan kewajiban pembuktian.[4] Hal tersebut merupakan bentuk hak asasi terdakwa sebagai konsekuensi dari dianutnya asas pemeriksaan akusator dalam KUHAP. Oleh karena itu, sebagai subjek dalam pemeriksaan maka tersangka atau terdakwa diberikan kebebasan untuk melakukan pembelaan diri terhadap tuduhan atau dakwaan yang ditujukan kepada dirinya.[5]

Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana maka perihal pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.[6] Bagi penuntut umum, maka pembuktian merupakan faktor yang sangat determinan dalam rangka mendukung tugasnya sebagai pihak yang memiliki beban untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hal tersebut sesuai dengan prinsip dasar pembuktian sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 66 KUHAP yang menyatakan bahwa pihak yang mendakwakan maka pihak tersebut yang harus membuktikan dakwaannya.[7] Berbeda halnya dengan advokat dalam kapasitasnya sebagai penasihat hukum, maka pembuktian merupakan faktor yang determinan dalam rangka melakukan pembelaan  yang optimal terhadap terdakwa selaku kliennya.

Dalam kapasitasnya sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pada tingkatan pengadilan maka perihal pembuktian merupakan faktor yang juga sangat menentukan bagi hakim dalam mendukung pembentukan faktor keyakinan hakim. Hal tersebut sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP yang pada pokoknya menjelaskan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim yang terbentuk didasarkan pada alat bukti yang sah tersebut.[8] Oleh karena itu, apabila ditinjau dari perspektif yuridis maka dalam perihal pembuktian tersebut tentunya harus berisi ketentuan tentang jenis alat bukti dan ketentuan tentang tata cara pembuktian yang dilakukan secara benar dan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang dengan melanggar hak asasi terdakwa.[9]

Seringkali dalam berbagai sidang pembuktian perkara pidana, muncul alat bukti yang disebut dengan istilah saksi mahkota. Pada dasarnya, istilah saksi mahkota tidak disebutkan secara tegas dalam KUHAP. Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan. Selain itu, munculnya dan digunakannya saksi mahkota dalam perkara pidana yang dilakukan pemisahan tersebut didasarkan pada alasan karena kurangnya alat bukti yang akan diajukan oleh penuntut umum.     

Dalam perkembangannya, ternyata muncul berbagai pendapat, baik yang berasal dari praktisi maupun akademisi, mengenai penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana. Sebagian pihak berpendapat bahwa penggunaan saksi mahkota dibolehkan karena bertujuan untuk tercapainya rasa keadilan publik. Namun sebagian berpendapat, bahwa penggunaan saksi mahkota tidak dibolehkan karena bertentangan dengan hak asasi dan rasa keadilan terdakwa. Bahkan perbedaan persepsi tentang penggunaan saksi mahkota ini juga muncul dalam berbagai yurisprudensi putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.   

Berdasarkan hal tersebut maka dalam tulisan ini penulis mencoba untuk membahas mengenai permasalahan tentang eksistensi saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pekara pidana. Adapun pokok pembahasan yang dilakukan oleh penulis bersifat terbatas, yaitu menganalisis hanya terhadap pokok permasalahan tentang dibolehkan atau tidaknya pengunaan saksi mahkota menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku khususnya yang mengatur tentang perlindungan hak asasi terhadap terdakwa. Pada akhirnya, tulisan ini hanya bertujuan untuk memperlengkap literatur keilmuan dan pengetahuan bidang hukum yang telah ada sebelumnya, khususnya untuk memberikan suatu deskripsi yang jelas mengenai eksistensi saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pekara pidana.

 

B.           SISTEM PEMBUKTIAN DAN ALAT BUKTI MENURUT KUHAP.

Secara teoritis, dikenal empat macam sistem pembuktian dalam perkara pidana, yaitu sebagai berikut :[10]

1.            Conviction in time, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada keyakinan hakim an sich dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

2.            Conviction in Raisonee, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Faktor keyakinan hakim dalam sistem pembuktian ini harus didasarkan pada alasan-alasan yang logis (reasonable). Hal ini yang membedakan dengan sistem pembuktian yang pertama.

3.            Positief wetelijk stelsel atau yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian posiitf, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

4.            Negatief wetelijk stelsel atau yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian negatif, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Apabila mengacu kepada ketentuan Pasal 183 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP menganut sistem pembuktian yang negatif. Terdapat dua konsep penting dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut, yaitu konsep tentang prinsip minimum pembuktian dan konsep keyakinan hakim. Prinsip minimum pembuktian menjelaskan bahwa untuk dapat membuktikan adanya kesalahan terdakwa sehingga dapat dijatuhkan putusan pidananya maka harus dibuktikan minimal dengan dua alat bukti yang sah. Ketiadaan dua alat bukti yang sah tersebut maka akan mengakibatkan terdakwa bebas. Bahkan, apabila suatu perkara pidana tidak memiliki minimal dua alat bukti sejak dilakukannya penyidikan dan penuntutan maka akan mengakibatkan dihentikannnya proses penyidikan oleh dan juga dihentikannya proses penuntutan oleh penuntut umum.[11]

Konsep keyakinan hakim tersebut baru dapat terbentuk dengan didasarkan pada adanya alat bukti yang sah menurut KUHAP. Berpedoman pada konsep keyakinan hakim tersebut maka penulis berpendapat bahwa apabila hakim bersikap aktif dalam sidang pembuktian maka hal tersebut harus dilihat dari perspektif kepentingan tugasnya, yaitu dalam rangka membentuk suatu keyakinan dan bukan didasarkan pada perspektif kepentingan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Adapun keyakinan hakim yang akan terbentuk pada akhirnya nanti hanya terdiri dari dua macam, yaitu keyakinan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah atau sebaliknya keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah.

Aktualisasi dari kombinasi kedua konsep dalam ketentuan pasal 183 KUHAP tersebut dapat dilihat dalam rumusan kalimat baku setiap diktum putusan perkara pidana yang menyatakan “secara sah dan meyakinkan”. Kata “sah” dalam hal ini berarti bahwa hakim dalam memberikan putusan tersebut didasarkan pada alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan kata “meyakinkan” dalam hal ini berarti bahwa dari alat bukti yang sah tersebut maka terbentuk keyakinan hakim.

Perihal alat bukti yang sah, ternyata dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP telah diatur lima jenis alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Secara gradasi, maka eksistensi keterangan saksi merupakan alat bukti yang sangat penting. Alat bukti keterangan terdakwa merupakan konsep alat bukti baru yang menggantikan konsep alat bukti konservatif berupa pengakuan terdakwa sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 295 Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Selain itu, alat bukti keterangan terdakwa merupakan konsekuensi dari dianutnya asas pemeriksaan akusator oleh KUHAP.[12]  

 

 

 

C.           DEFINISI DAN PENGATURAN SAKSI MAHKOTA.

Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai saksi mahkota (kroon getuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka saksi mahkota didefinisikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi  yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan.[13] Menurut Prof. DR. Loebby Loqman, SH, MH, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan saksi mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan.[14]

Pada awalnya, pengaturan mengenai saksi mahkota hanya diatur dalam ketentuan Pasal 168 huruf (c) KUHAP, yang pada pokoknya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Selanjutnya, dalam perkembangannya, maka rekognisi tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990.[15]

Dalam yurisprudensi nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang apabila jaksa penuntut umum mengajukan saksi mahkota di persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Selain itu, dalam yurisprudensi tersebut juga telah diberikan suatu definisi tentang saksi mahkota yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkara diantaranya dipisah  karena kurangnya alat bukti.

 Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu., yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing), serta apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana.

 

D.          ANALISIS TERHADAP PENGGUNAAN SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA.

Adanya penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana maka tentunya akan menimbulkan berbagai permasalahan yuridis. Munculnya alasan untuk memenuhi dan mencapai rasa keadilan publik sebagai dasar argumentasi diajukannya saksi mahkota bukan merupakan hal yang menjustifikasi penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam setiap pemeriksaan perkara pidana.

Secara normatif, pengajuan dan penggunaan saksi mahkota merupakan hal yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan pelanggaran terhadap kaidah hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam KUHAP sebagai instrumen hukum nasional dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tahun 1996 sebagai instrumen hak asasi manusia internasional. Dalam kaitannya dengan penilaian implementasi prinsip-prinsip fair trial maka ICCPR digunakan sebagai instrumen acuan.

 

 

Adapun bentuk-bentuk pelanggaran tersebut adalah sebagai berikut :

1.            Bahwa saksi mahkota, secara esensinya adalah berstatus terdakwa,. Oleh karena itu, sebagai terdakwa maka pelaku memiliki hak absolut untuk diam atau bahkan hak absolut untuk memberikan jawaban yang bersifat ingkar atau berbohong. Hal ini merupakan konsekuensi yang melekat sebagai akibat dari tidak diwajibkannya terdakwa untuk mengucapkan sumpah dalam memberikan keterangannya. Selain itu, menurut ketentuan Pasal 66 KUHAP[16] dijelaskan bahwa terdakwa tidak memiliki beban pembuktian, namun sebaliknya bahwa beban pembuktian untuk membuktikan keslahan terdakwa terletak pada pihak jaksa penuntut umum ;

2.            Bahwa dikarenakan terdakwa tidak dikenakan kewajiban untuk bersumpah maka terdakwa bebas untuk memberikan keterangannya dihadapan persidangan. Sebaliknya, dalam hal terdakwa diajukan sebagai saksi mahkota, tentunya terdakwa tidak dapat memberikan keterangan secara bebas karena terikat dengan kewajiban untuk bersumpah. Konsekuensi dari adanya pelanggaran terhadap sumpah tersebut maka terdakwa akan dikenakan atau diancam dengan dakwaan baru berupa tindak pidana kesaksian palsu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 242 KUHPidana.[17] Adanya keterikatan dengan sumpah tersebut maka tentunya akan menimbulkan tekanan psikologis bagi terdakwa karena terdakwa tidak dapat lagi menggunakan hak ingkarnya untuk berbohong. Oleh karena itu, pada hakikatnya kesaksian yang diberikan oleh saksi mahkota tersebut disamakan dengan pengakuan yang didapat dengan menggunakan kekerasan[18] in casu kekerasan psikis ;

3.            Bahwa sebagai pihak yang berstatus terdakwa walaupun dalam perkara lainnya diberikan kostum sebagai saksi maka pada prinsipnya keterangan yang diberikan oleh terdakwa (saksi mahkota) hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam ketentuan Pasal 183 ayat (3) KUHAP ;

4.            Bahwa dalam perkembangannya, ternyata Mahkamah Agung memiliki pendapat terbaru tentang penggunaan saksi mahkota dalam suatu perkara pidana dalam hal mana dijelaskan bahwa  penggunaan saksi mahkota adalah bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1952 K/Pid/1994 tanggal 29 April 1995[19], Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1590 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995[20] ;

5.            Bahwa seringkali keterangan terdakwa dalam kapasitasnya sebagai saksi mahkota yang terikat oleh sumpah digunakan sebagai dasar alasan untuk membuktikan kesalahan terdakwa dalam perkaranya sendiri apabila terdakwa berbohong. Hal ini tentunya bertentangan dan melanggar asas non self incrimination. Dalam ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR dijelaskan sebagai berikut :

“In the determination of any criminal charge against him, everyone shall be entitled to the following minimum guarantes, in full equality : (g). Not to be compelled to testify against himself or to confess guilty.”

Pada dasarnya, ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR tersebut bertujuan untuk melarang paksaan dalam bentuk apapun . Selain itu, diamnya tersangka atau terdakwa tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk menyatakan kesalahannya.[21]

Dengan demikian, penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana perlu ditinjau ulang kembali karena bertentangan dan melanggar kaidah hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam KUHAP sebagai instrumen hukum nasional maupun ICCPR sebagai isntrumen hak asasi manusia internasional yang juga merupakan sumber acuan terhadap implementasi prinsip-prinsip peradilan yang adil (fair trial).

 

E.           KESIMPULAN.

Berdasarkan uraian pembahasan sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, maka selanjutnya dapat dirumuskan beberpa konklusi sebagai berikut :

1.            KUHAP dan penjelasannya tidak mengatur secara tegas mengenai definisi otentik tentang saksi mahkota. Namun demikian, ketentuan Pasal 168 huruf c KUHAP merupakan dasar pengaturan bagi saksi mahkota.

2.            Pada awalnya, penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti  dalam perkara pidana dibolehkan karena didasarkan pada alasan adanya kekhawatiran kurangnya alat bukti yang diajukan, khususnya terhadap perkara pidana yang berbentuk penyertaan dan juga alasan untuk memenuhi rasa keadilan publik. Hal ini sebagaimana dijustifikasi oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990.

3.            Dalam perkembangannya, maka penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana tidak dibolehkan dengan pertimbangan karena bertentangan dengan hak asasi terdakwa sebagaimana diatur dalam ketentuan KUHAP sebagai instrumen hukum nasional dan ICCPR sebagai instrumen hak asasi manusia internasional. Hal tersebut juga didukung oleh berbagai Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1952 K/Pid/1994 tanggal 29 April 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1590 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995.

4.            Digunakannya ICCPR sebagai instrumen untuk menganalis tentang penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti didasarkan alasan bahwa ICCPR merupakan instrumen acuan dalam menilai implementasi prinsip-prinsip fair trial.

 

 

 

 

F.            SARAN.

Berdasarkan beberapa hasil kesimpulan sebagaimana yang telah dikemukakan oleh penulis, maka selanjutnya dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut :

1.            Penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana perlu ditinjau ulang karena bertentangan dengan esensi hak asasi manusia, khususnya hak asasi terdakwa.

2.            Untuk dapat mendukung implementasi prinsip-prinsip fair trial maka perlu dicari suatu solusi untuk menggantikan penggunaan alat bukti saksi mahkota demi untuk mewujudkan rasa keadilan publik.

 

G.          DAFTAR PUSTAKA.

 

Adami Chazawi, Kemahiran Dan Ketrampilan Praktik Hukum Pidana, Bayumedia, Malang, 2006.

 

Ahmad Fauzan, Fair Trial : Prinsip-Prinsip Peradilan Yang Adil Dan Tidak Memihak, Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1997.

 

Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

 

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.

 

Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 1998.

 

Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta, 1982.

 

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana Untuk Mahasiswa Dan Praktisi, Mandar Maju. Bandung, 2003.

 

Kepolisian Republik Indonesia, Buku Petunjuk Pelaksanaan Proses Penyidikan Tindak Pidana, 2000.

 

Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.

 

Loebby Loqman, “Saksi Mahkota,” Forum Keadilan, (Nomor 11, 1995).

 

Martiman Prodjohamidjojo, Komentar Atas KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990.

 

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.

 

_________, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.

 

Syamsul Bahri Radjam, “Hak Warga Negara Dalam Hukum Acara Pidana” dalam Panduan Bantuan Hukum : Pedoman Anda Memahami Dan Menyelesaikan Masalah Hukum, editor A. Patra M. Zein dan Daniel Hutagalung, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 2006.

 

Varia Peradilan, Nomor 62, Nopember, 1990.

 

Varia Peradilan, Nomor 119, Agustus, 1995.

 

Varia Peradilan, Nomor 120, September 1995.

Splitsing Memungkinkan Pelanggaran Azas Hukum,” yang terdapat dalam http ://www.hukumonline.com/ detail.asp? id= 18013 &cl =Fokus


[1] Departemen Kehakiman RI, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Jakarta : Departemen Kehakiman RI, 1982), hlm. 1.

[2] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2001), hlm. 9.

[3] Syamsul Bahri Radjam, “Hak Warga Negara Dalam Hukum Acara Pidana,” Panduan Bantuan Hukum : Pedoman Anda Memahami Dan Menyelesaikan Masalah Hukum, ed. A. Patra M. Zein dan Daniel Hutagalung (Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2006), hlm. 273.

[4] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hlm.. 41.

[5] Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik (Jakarta : Djambatan, 1998), hlm. 107.

[6] Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 49-50.

[7] Adami Chazawi, Kemahiran Dan Ketrampilan Praktik Hukum Pidana (Malang : Bayumedia, 2006), hlm. 201.

[8] Martiman Prodjohamidjojo, Komentar Atas KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Jakarta : Pradnya Paramita, 1990), hlm. 133.

 

[9] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hlm. 252.

[10] Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana Untuk Mahasiswa Dan Praktisi (Bandung : Mandar Maju, 2003), hlm.14-17.

[11] Kepolisian Republik Indonesia, Buku Petunjuk Pelaksanaan Proses Penyidikan Tindak Pidana (Jakarta : 2000), hlm. 17.

[12] Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op.cit., hlm. 18-19.

[13] Lilik Mulyadi, Op.cit., hlm. 85-86.

[14] Loebby Loqman, “Saksi Mahkota,” Forum Keadilan (Nomor 11, 1995).

[15] Varia Peradilan Nomor 62, Nopember 1990, hlm. 19-44.

[16] Pasal 66 KUHAP menjelaskan sebagai berikut : “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.

[17] Pasal 242 ayat (1) KUHPidana menjelaskan sebagai berikut : “Barang siapa dalam hal-hal dimana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah, atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu diatas sumpah, baik lisan atau tulisan, olehnya sendiri maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

[18] Loebby Loqman, Loc.cit.,

[19] Varia Peradilan Nomor 119, Agustus 1995, hlm. 5-58.

[20] Varia Peradilan Nomor 120, September 1995, hlm. 5-62.

[21] Ahmad Fauzan, Fair Trial : Prinsip-Prinsip Peradilan Yang Adil Dan Tidak Memihak (Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1997), hlm. 33.

 

 

Comments»

1. Granita Ghantari - November 6, 2008

Masalah eksistensi Saksi Mahkota memang tidak ada habisnya untuk menjadi topik dalam Hukum Acara Pidana. Namun ada bbrp hal yang mungkin saya bisa tambahkan agar dapat menjadi bahan pertimbangan. Saksi Mahkota dalamn KUHAP tidak ada aturannya, dalam Pasal 168 ruang lingkupnya hanyalah hub keluarga dan semenda. Apabila terdapat kalimat ‘atau yang bersama2 sbg terdakwa’, seharusnya dilihat lagi konteks dari pihak yang bersama2 itu apakah merujuk pada awal kalimat. Selain itu, saksi mahkota yang seringkali terjadi adalah diantara mrk tdk berhub scr keluarga maupun semenda. Mnrt literatur yang pernah saya baca n berdasarkan praktik di negeri Belanda dan Perancis, Saksi Mahkota bukanlah terdakwa yang bergantian menjadi saksi melainkan seorang terdakwa yang paling kecil keterlibatannya dlm suatu tindak pidana yang kemudian dikluarkan statusnya menjadi saksi n diberi jnji2 sprti akan diperingan hkmn atau tdk dituntut sepanjang dia mau membongkar kejahatan teman2nya. Any comment??

2. Pengebirian Hak Asasi Manusia Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi dalam Statusnya Sebagai Saksi Mahkota « sindhuisme - February 23, 2012

[…] 31 Juli 2008. Eksistensi Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana, https://mmsconsulting.wordpress.com/2008/07/31/eksistensi-saksi-mahkota-sebagai-alat-bukti-dalam-perk…, diakses 6 November […]


Leave a comment